Pages

KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK




KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK
Fenomena dan Solusinya

BAB I
PENDAHULUAN

Abstraksi
            Tarbiyatul Aulad atau kita menyebutnya Pendidikan anak, adalah sesuatu yang sangat urgen, karena ia sebagai pondasi awal yang akan membentuk pola tingkah laku bagi seorang anak. Pendidikan anak tak boleh diabaikan, dus ia merupakan langkah awal yang akan menentukan masa depan mereka.          Sudah seharusnya bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan didikan yang benar, dengan demikian mereka akan dihantarkan kepada kesempurnaan dengan cara bertahap. Bagaimana tidak Rasulullah r telah memberi contoh kita berbagai macam pendidikan, dari berbagai dimensinya. Mulai dari pendidikan keimanan dan akhlak sampai pendidikan jasmani, semua tak luput beliau ajarkan kepada kita. Beliau adalah sosok manusia pilihan yang layak kita jadikan teladan.
            Rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmu dan mendidik manusia dengan ilmu tersebut. Seorang pendidik adalah seorang yang merawat ilmunya agar menjadi sempurna sebagaiman seorang yang mempunyai harta merawat hartanya agar bertambah dan merawat manusia dengan ilmu tersebut sebagaiman seorang bapak merawat anak-anaknya.
           
  1. Latar Belakang Masalah
            Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penulisan makalah ini, diantaranya adalah pentingnya pendidikan dalam keluarga. Karena di dalamnya merupakan awal mula bertolaknya sebuah pendidikan, kemudian dilanjutkan di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Adapun yang lebih khususnya, adalah fenomena kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. banyak orang tua yang tidak menyadari akan kedudukannya yang sangat penting dalam sebuah keluarga, hingga kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikanpun mereka lalai.
            Inilah sekilas gambaran yang menimpa pendidik-pendidik kita yang hakiki. Mereka telah kehilangan jati diri sebagai pendidik yang sejati, juga mengabaikan orientasi peran serta kedua orang tua dalam sebuah keluarga.
  1. Masalah
            Di era globalisasi ini, seiring dengan kemajuan zaman, berbagai fenomena terjadi di masyarakat. Tak luput urusan keluarga, setiap manusia dituntut oleh sebuah tantangan global dalam mengurus keluarga dan berbagai urusan dunia ini. Penitipan anak telah memasyarakat, babby sitter tersedia di banyak tempat, didikan anak bukan melalui orang tuanya lagi yang disibukkan urusan dunianya. Di samping itu, orang tua yang masih tetap langsung mendidik anak-anaknya seolah sudah tak menghiraukan aturan main dalam urusan mendidik anak. Berbagai kasus yang menimpa banyak keluarga nyata adanya, disebabkan karena mereka tak berhasil dalam pendidikan keluarga.

  1. Tujuan
            Melihat betapa penting mengetahui kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik putra-putrinya, maka sengaja saya menulisan makalah ini. Dengan harapan agar mereka yang belum mengetahui, segera mengetahuinya dan bagi yang sudah mengetahui agar bergegas untuk mengamalkannya. Bagi mereka yang telah tercebur dalam dunia rumah tangga, untuk tetap istiqamah menapakinya dengan penuh bahagia dan hati-hati. Bagi mereka yang belum terjun ke dalam jalinan sebuah keluarga, agar tidak salah dalam mendidik putra-putrinya kelak. Bagi mereka yang telah mendidik anak-anaknya dengan didikan yang salah, agar segera memperbaiki cara mendidiknya.

BAB II
ANALISA
Kesalahan dalam Mendidik Anak
Banyak nash, baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang memberikan peringatan terhadap kesalahan dalam mendidik anak. Kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada anak-anak dan menunaikan amanat dengan baik kepada mereka serta memperingatkan kita agar tidak melalaikan dan mengabaikan serta mengurangi hak-hak mereka. Allah U berfirman,  “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [1]
            Dalam ayat lain Allah U juga telah berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”[2]
            Mendidik anak adalah sebuah amanat yang Allah U berikan kepada kedua orang tua, maka hendaknya mereka melaksanakannya dengan penuh kesungguhan. Bukankah Allah U telah mengingatkan kita agar memelihara diri dan keluarga dari api Neraka,? Bukankah anak merupakan anggota keluarga bagi orang tua,?
            Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[3]
Rasulullah r bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya, setiap imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya, seorang suami pemimpin di dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”[4]
Beliau juga bersabda, “Tidaklah seorang hamba diberi amanat untuk memimpin (kepemimpinan) oleh Allah Ta'ala kemudian ia mati pada waktu itu sedang ia menyelewengkan kepemimpinannya, melainkan Allah mengharamkan bamginya jannah.”[5]
Berikut penulis paparkan kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak yang banyak dilakukan oleh orang tua, tak lupa saya sertakan solusinya. Meskipun kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak  tidak hanya terbatas pada yang penulis paparkan disini, semoga dalam makalah ini cukup mewakili adanya. Dalam pemaparan ini, penulis meninjaunya dari sisi psikologis tanpa melupakan sisi syariatnya. Adapun diantara kesalahan-kesalahan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Tidak menanamkan keimanan kepada anak sejak dini.
            Keimanan adalah urusan yang terpenting bagi eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah U. Menanamkan keimanan dan aqidah yang benar pada diri anak semenjak kecil adalah tuntutan syariat Islam bagi kedua orang tua.
            Orang tua hendaknya menyadari betul bahwa fitrah seorang anak mengakui akan keesaan Allah U , bahkan mengakui sabagai satu-satunya sesembahan yang Haq. Dengan demikian mempertahankan kondisi tersebut adalah sebuah kelaziman yang harus dilakukan bagi keduanya.
            Sahabat Ibnu Abbas t pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah r bersabda, “Ajarkan kalimat Laa Ilaaha Illallah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama, dan tuntunlah mereka mengucapkan kalimat tersebut ketika menjelang mati.”[6]
            Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah pernah berkata, “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara, hendaklah mendiktekan kepada merekakalimat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rasulullah . Hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah Laa Ilaaha Illallah dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan kepada mereka bahwa Allah U bersemayam diatas Arsy, Dia senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka dimanapun mereka berada.”[7]
            Penanaman aqidah yang shahih hendaknya ditekankan semenjak anak kecil, agar ia bisa tumbuh diatas aqidah tersebut. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh imam al-Ghazali, “Ketahuilah bahwa apa yang telah kami sebutkan dalam menjelaskan aqidah seyogyanya diberikan kepada sang anak di awal perkembangannya. Ini dimaksudkan agar ia bisa menghafalkannya dengan benar-benar, sehingga maknanya kelak di masa dewasa terus terungkap sedikit demi sedikit.” Beliau juga menyatakan, “Langkah pertama adalah pemberian hafalan, kemudian pemahaman, kemudian I’tiqad (kepercayaan), keyakinan dan pembenaran. “[8]

Kedua, Mendidik anak berbicara dengan tanpa dipikir masak-masak terlebih dahulu, kelancangan lidah dan merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain dengan alasan agar anak menjadi pemberani.
            Lisan adalah sumber dari berbagai fitnah. Dengan lisan seseorang dapat menyampaikan kebenaran maupun kesalahan. Ucapan lisan yang baik akan membawa seseorang kepada Jannah, sebalinya ucapan yang jelek akan menyeret pelakunya ke dalam Neraka. Rasulullah r pernah mengingatkan kepada Sahabat Mu’adz bin Jabal, “Peliharah olehmu benda ini (seraya beliau memagang lidahnya),” Muadz bertanya, “Benarkah kita akan disiksa karenapembicaraan kita,?” Beliau menjawab, “Celaka ibumu Muadz, bukankah manusia itu akan diseret ke Neraka pada wajah-wajah mereka disebabkan oleh buah perkataan mereka.”[9]
            Maksud dari buah perkataan adalah balasan atas perkataan yang haram dan berbagaio akibatnya. Dengan berbicara dan beramal seseorang berarti telah menanamkan kebaikan atau keburukan, di hari Kiamat kelak ia akan menuai semua apa yang telah diucapkan. Barangsiapa yang menanam kebaikan, maka ia akan menuai karamah. Sebaliknya, sesiapa yang menanam keburukan ia akan menuai penyesalan.[10]
            Hendaknya orang tua bertanggung jawab kepada semua anak-anaknya untuk benar-benar menjaga lisannya, dipikir terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu. Sudah semestinya menyadari bahwa apa yang diucapkan senantiasa tercatat oleh Malaikat. Allah U telah berfirman, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”[11] Demikian pula kita meyakini bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawabannya, Allah U pernah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”[12]
            Oleh karena itu, jika kita tidak mampu untuk berkata yang baik hendaknya berusaha semaksimal mungkin untuk menutup lisan kita, agar terjaga ucapan kita. Rasulullah r pernah mengingatkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah U dan hari Akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”[13]

Ketiga, Mendidik anak dengan dimanja dan hidup tanpa aturan, membiasakan anak hidup mewah, congkak, royal dan lain sebagainya.
            Anak yang dididik dengan manja, maka di kala dewasa kelak ia tidak akan menjadi orang yang mampu untuk hidup mandiri. Membiasakan anak hidup secara boros dan royal, maka di waktunya ia besar tak akan mampu untuk bisa hidup sederhana. Membiasakan anak hidup tanpa aturan, akan menjadikan ia sebagai orang yang tidak mau diatur di kala besar nanti. Makan tidak teratur, terkadang sering makan berlebihan dan kadang pula terlambat dalam makan.
            Melihat kondisi seperti ini, hendaknya mempergauli anak tanpa memanjakannya. Orang tua yang baik, hendaknya membiasakan anak untuk mandiri, hidup dengan hemat dan penuh perhitungan, juga hidup sederhana.
            Berlebihan dalam makan hingga ke-kenyangan akan banyak memicu munculnya berbagai macam penyakit, baik bersifat jasmani maupun rohani. Penyakit yang sifatnya jasmani, misalnya anak akan merasa lemah, lesu, mual-mual dan lain sebagainya. Lalu tidak akan dapat memanfaatkan waktunya dengan baik, ia akan malas untuk bekerja, penginnya istirahat terus dan lain sebagainya. Adapun mengenai penyakit rohani, ia akan banyak mengakibatkan hal yang buruk. Ia akan menggerakkan badan untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan serta menjadikannya malas dan berat untuk berbuat ketaatan kepada Allah U maupun malas dalam melakukan ibadah. Berapa banyak kemaksiatan yang bermula dari keadaan kenyang dan berlebihan dalam makan.
            Mengenai urusan perut, jauh hari Rasulullah r telah mengingatkan kita untuk mengaturnya. Dalam sebuah haditsnya, beliau menasehatkan, “Tiada bejana yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga dari perutnya hendaknya diisi untuk makannya, apertiga untuk minumnya dan sepertiga untuk nafasnya.”[14]
            Makan dengan teratur dapat melembutkan hati, meguatkan daya pikir, membuka diri, serta melemahkan hawa nafsu dan sifat suka marah. Barangsiapa bisa menjaga keburukan perutnya berarti ia telah manjaga diri dari keburukan yang besar.[15] Kemudian hendaknya membiasakan mereka untuk hidup sederhana dengan bersungguh-sungguh, serius dan menjauhkan dari sifat malas, menganggur dan santai-santai.

Keempat, Membuka tangan atau membiarkan anak dari segala apa yang diinginkan, tanpa menolak sedikitpun.
            Membelikan kendaraan kepada anak adalah contoh riel yang acap kali terjadi di masyarakat kita, padahal mereka masih kecil dan tidak tahu akan kegunaannya. Dengan benda tersebut seorang anak hanyak merasakan kenikmatannya saja, tidak mengetahui bagaimana perawatan dan lain sebagainya.
            Sikap yang ditempuh oleh orang tua seperti hal diatas akan membuka pntu syetan dan menimbulkan banyak kemubadziran. Dus, mubadzir adalah perkara yang dilarang oleh Allah U dan sangat disukai syetan. Allah U berfirman, “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (*) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.”[16]
            Maka oranmg tua yang baik, ia akan memberi uang jajan kepada anak sesuai dengan apa yang diburuhkannya dan memberinya uang tetap (pada usia tertentu). Anak kecil yang belum tahu kebutuhan macam-macam dan bahkan ia tidak membutuhkan berbagai macam kebutuhan tersebut, maka hendaknya diberikan sesuatu yang dibutuhkan saja.

Kelima, Terlalu bersikap keras dan kasar dari yang sewajarnya.
            Teralalu bersikap keras dalam mendidik anak, akan menjadikan ia sebagai anak yang berwatak penakut dan kecil hati. Anak akan selalu rendah diri, tidak berani bergaul dengan orang lain dan akan sering mengurung diri demi tidak terlihatnya oleh orang laing. Dus, kalau si anak tidak gentar, maka ia akan menjadi pemuda yang kurang ajar dan tidak ada yang ia segani maupun ditakutinya. Hati seorang anak akan menjadi keras, hingga pada akhirnya tak seorangpun yang mau ditaatinya.
      Oleh karena itu, hendaknya orang tua mendidik anaknya sewajarnya saja, tidak terlalu keras maupun lembut. Orang tua hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan dalam mendidik anak-anak-nya. Manakala dibutuhkan kekarasan ketika mengingatkan, hendaknya dilakukan kekerasan. Namun ketika tidak dibutuhkan kekerasan, maka jangan sampai mendidiknya dengan kekerasa.
      Diantara tahapan tersebut adalah pertama, memberikan penjelasan. Anak dikenalkan kepada keyakinan dan amalan yang harus dikerjakan seorang muslim, juga apa yang harus ia tinggalkan dan ia jauhi. Kedua, melakukan larangan dengan tegas. Metode ini dilakukan saat diperlukan saja, ini berdasarkan sikap Rasulullah r kepada al-Hasan yang makan kurma dari sedekah. Ketiga, merubah dengan tangan. Keempat, melakukan pukulan. Kelima, pengucilan.[17]
            Menghindari hukuman fisik atau ancaman sebagai sarana untuk meluruskan kesalahan tetap saja sebagai tindakan yang lebih baik. Orang tua hendaknya juga tidak melupakan untuk memperhatikan setiap pelaksanaan perintah. Dengan mengetahui tahapan dalam mendidik anak seperti diatas, diharapkan orang tua benar-benar dapat mengamalkannya dengan sebaik mungkin.

Keenam, Terlalu bersikap kikir kepada anak.
            Hendaknya orang tua bersikap pertengahan kepada anak-anaknya, tidak terlalu membuka tangan kepadanya dan juga tidak terlalu kikir kepadanya. Mengetahui berapa besar kebutuhan anak, hendaknya diketahui orang tua. Memberikan apa yang memang dibutuhkan dan mencegah dari  apa-apa yang tidak dibutuhkan oleh si anak. Sifat kikir bukanlah hal yang baik, karena akan memunculkan banyak permasalahan. Dilihat dari sisi dien, ia memang dilarang, karena Islam menganjurkan agar umatnya menjadi orang yang dermawan. Adapun kalau kita lihat dari sisi psikologi, sifat kikirnya orang tua akan berdampak pada anak. Boleh jadi, seorang anak kelak akan menjadi orang yang kikir disebabkan karena kekikiran orang tua.
Ketujuh, Tidak memberikan kasih sayang dan perhatian kepadanya.
            Kasih sayang dari orang tua sangat dibutuhkan oleh seorang anak. Maka tatkala orang tua tidak memberikan kasih sayangnya kepada anak mereka, pendidikan anak akan terasa hampa. Bukti kasih sayang yang sangat membekas pada diri anak adalah ciuman atau kecupan pada anak. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah r adalah contoh yang nyata. Bagaimana beliau memberikan kasih sayangnya kepada anak-anak kecil. Sebagaimana yang telah dikisahkan oleh A’isyah, “Telah datang beberapa orang Badui menghadap Rasulullah r dan bertanya, “Apakah engkau mencium anak-anakmu,?” Maka beliau menjawab, “Ya.”  Mereka kemudian berkata, “Demi Allah U, kami tidak mencium anak-anak kami.” Rasulullah r lalu bersabda, “Aku tidak punya daya apa-apa bila Allah U telah mencabut rasa kasih sayang dari dalam hatimu.”[18]
Kedelapan, Hanya memperhatikan aspek penampilan fisik saja.
            Orang tua yang kurang memperhatikan dien-nya, ia cenderung akan menilai anaknya dengan satu sudut pandang saja. Aspek fisik sajalah yang hanya akan diperhatikannya, dengan melalaikan aspek ruhnya. Banyak dari kalangan orang tua yang merasa bangga apabila anaknya berpenampilan sehat selalu dan berbadan kuat. Mereka tidak menghiraukan urusan ruhnya. Berapa banyak orang tua yang terlena dengan apa yang muncul dari seorang anak.
Kesembilan, Terlalu berlebihan dalam berparasangka baik kepadanya.
            Berprasangka baik kepada anak adalah hal yang dituntut bagi orang tua. Akan tetapi kalau sudah pada taraf berlebihan, maka ia menjadi hal yang tercela. Maka prasangka baik kepada anak yang berlebihan merupakan kesalahan yang dilakukan orang tua. Hendaknya orang tua senantiasa mengetahui dimana keberadaan anak-anaknya, kemana ia pergi, kepada siapa ia izin, kepada bapak atau ibu. Jam berapa seharusnya seorang anak sudah harus berangkat sekolah dan kapan seharusnya ia pulang dari sekolah.
            Orang tua hendaknya bisa mengatur kegiatan apa saja yang layak untuk dilakukan anak-anaknya. Kapan seorang anak harus mengaji, belajar di rumah dan bermain bersama teman-temannya. Siapa teman-teman dekatnya dan orang yang paling banyak berpengaruh kepadanya, sehingga perkembangan psikologinya dapat dideteksi.
            Bisa jadi kepercayaan orang tuia kepada anaknya, seperti hal diatas justru akan dimanfaatkan oleh si anak untuk hal-hala yang tidak baik. Ia akan banyak-banyak mencuri waktu luang guna bermain terus, atau untuk hal-hal lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, waktu-waktu yang sudah padatpun akan ia terjangnya. Sedikit orang tua lengah dalam memantaunya, ia akan bersegera berbalik arah untuk menjauh dari orang tua. Oleh karena itu, manakala seorang anak meminta izin untuk bermain harus diketahuilah dimana dan permainan apa yang akan ia lakukan.
Kesepuluh, Terlalu buruk sangka kepada anak.
            Kebalikan dari point sebelumnya, orang tua juga tidak selayaknya untuk terlalu berburuk sangka kepad anak. Berburuk sangka kepada anak tidak selamanya mengandung makna yang buruk, karena terkadang ia dibutuhkan. Manakala seorang anak sering meninnggalkan rumah, hendaknya orang tua sedikit berburuk sangka. Sehingga dengan demikian, orang tua akan selalu mengetahui kondisi dan keberadaan si anak.
            Terlalu berburuk sangka kepada anak juga merupakan hal yang berbahaya, tidak baik. Terlalu berburuk sangka kepada anak merupakan bagian dari kesalahan dalam mendidik anak. Ia akan menjadikan anak yanng penakut, karena merasa selalu dipantau dan diawasi. Ia akan menjadikan anak yang serba tertutup di hadapan orang tuanya, banyak menjauh dari keduanya.
Kesebelas, Tidak berlaku adil kepada anak-anak.
            Perlakuan tidak adil dari orang tua kepada anak-anaknya akan mengakibatkan banyak hal, diantaranya anak akan malas bekerja, malas belajar, membenci orang tua, silit diatur dan acuh atau cuek kepada orang tua. Adil bukan berarti harus sama, bahkan terkadang menyamakan besarnya uang yang diberikan kepada anak, justru masuk dalam kategori tidak adil. Akan tetapi yang terbaik bagi orang tua, agar bisa mendudukkan sesuai dengan kebutuhannya. Seorang anak yang masih kecil, tidak layak untuk dikasih uang banyak. Demikian sebaliknya, seorang anak yang sudah dewasa akan kurag jika hanya disedikit dan itu memang tidak memenuhi kebutuhannya.
Kedua belas, Kesalahan dalam memberi nama.
            Nama adalah sebuah do’a dari kedua orang tua kepada anaknya. Memberi nama anak dengan nama-nama yang baik merupakan kewajiban bagi orang tua. Dengan memberi nama anak, orang tua mencurah harapan di masa depannya. Maka bila nama anak tersebut baik, niscaya kebaikan pula yang diharapkan orang tua darinya.
            Namun betapa banyak umat yang tidak mengetahui hakekat dari nama seorang anak, hingga sembarang memberi nama bagi anak mereka. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh imam seorang ulama pendidik sejati, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ”Jarang anda melihat nama yang jelek, melainkan nama itu adalah sesuai dengan yang dinaminya.”[19]
            Fenomena di tengah kaum muslimin banyak kita dapati nama-nama anak yang tidak Islami, mengekor kepada orang-orang Barat. Bapak Nardi (bukan nama sebenarnya, penggamar pemain bola), dengan senang hati memberi nama anaknya David, harapannya agar besar kelak menjadi pemain bola handal layaknya David Bekham. Lain lagi bapak (Jaky, penggemar musik Barat), dengan bahagia memberi nama anaknya dengan Michael, mengimpikan dewasa kelak anaknya menjadi Rocker dunia seperti Michael Jacksan. Ibu Dian memberi nama anaknya dengan Kristina, padahal ia adalah seorang Muslimah. Demikian seterusnya yang tak mungkin saya sebutkan satu-satu di makalah ini.
            Selain itu, juga banyak nama-nama yang tidak layak bagi orang tua memberikannya kepada anak-anak mereka, seperti; Fir’aun, Hamman, Qarun atupun Karl Max, merekapentolan pembangkang lagi menyombongkan diri. Begitu pula nama-nama yang jelek, baik dilarang menurut Islam ataupun menurut adab kesopanan dan perasaan, seperti; Harb yang artinya perang, Himar (keledai), Kalb (anjing), Murrah (pahit) dan lain-lainnya. Tak luput juga nama-nama yang menyebabkan bahan tertawaaan dan ejekan orang, seperti; Syuhat yang artinya timbil, Ful-ful (cabe), Khaisyah (karung), Bighal (keledai kecil) dan lain-lain.
            Berkaitan dengan nama pula, hendaknya membiasakan memanggil anak dengan panggilan yang baik semenjak kecil. Banyak sekarang, anak-anak sudah bagus namanya, tapi justeru orang tua memulai memangginya dengan panggilan yang tidak baik. Tidak luput pula, apabila ada orang yang memanggilnya dengan panggilan yang jelek, hendaknya orang tualah yang memuali menegurnya agar tidak berkepanjangan penggilan tersebut melekat pada anak.

Ketiga belas, Mengabaikan rumah dan menyibukkan diri dengan urusan di luar rumah.
            Orang tua yang kurang memperhatikan akan rumahnya, otomatis dengan anak-anaknya akan melalaikannya. Apabila dengan dirinya saja tidak menghiraukan, bagaimana dengan keluarga,? Oleh karenanya banyak dari mereka yang tidak berhaasil membina keluarganya, mendidik anak-anaknya.
            Maka sebagai solusinya dalam masalah ini, hendaknya orang tua banyak menetap di rumah. Kalau memang tidak ada kebutuhan-kebutuhan yang syar’i, yang menuntutnya untuk meninggalkan rumah, maka hendaknya jangan meninggalkann rumah.  Tatkala meninggalkan rumahpun diusahakan benar-benar diperhatikan, sesuai dengan kebutuhan. Maka manakala kebutuhan ia segeraa kembali ke rumahnya, untuk cepat-cepat memperhatikan keadaan keluarganya dan segera meneruskan didikannya kepada mereka.
            Hendaknya pemimpin keluarga memusatkan rumahnya sebagai madrasah untuk pendidikan bagi anak-anaknya, mengusahakan agar seluruh anggota keluarga dibuat kerasan menetap di rumah. Sudah selayaknya baginya untuk mengkondisikan rumahnya dalam keadaan tenang, tidak ada keributan dan keramaian. Kalaupun toh ada, diminimalisir mungkin. Tidak menjadikan rumah sebagai tempat senda gurau, namun hendaknya ia jadikan sebagai tempat yang mampu untuk mewujudkan  kehidupan yang bahagia, mawaddah wa rahmah.
Keempat belas, Mendidik anak dengan perbuatan yang rendah, kata-kata yan jelek dan akhlak yang tidak terpuji.
            Berusaha untuk bisa menjadi teladan dalam mendidik adalah sebuah azam yang harus tertanam di benak orang-orang tua, yang notabenenya mereka sebagai para pendidik anak-anak. Orang tua sebagai tolak ukur bagi akhlak, tingkah laku, adab, unggah-ungguh bagi anak-anaknya. Maka acap kali, ketika seorang anak berbuat kejahatan atau kesalahan, orang tualah yang langsung terkena imbasnya. Masyarakat menanyakan, “siapa bapaknya,” jika dijawab, “si Fulan,” mereke kembali berkomentar, “wah, pantas.” Kata-kata ini sering muncul di kalangan masyarakan kita.
            Melihat betapa dasyatnya dampak yang ditimbulkan dari kesalahan pendidikan ini, maka hendaknya orang tua mengajari mereka perkara-perkara yang dipandang baik dan meletih mereka untuk mengamalkannya. Berusaha keras menggunakan kata-kata yang baik dan bisa diterima oleh anak serta manjauhkan dari dari kata-kata yang kurang baik dan jelek.

Kelima belas, Melakukan berbagai larangan di depan anak.
            Orang tua adalah cermin hidup bagi kaum muslim dalam sebuah rumah tangga. Oleh karenanya, apa yang ditampakkan dan dipersembahkan kepada anak adalah kebaikan. Orang tua adalah teladan dalam sebuah rumah tangga, menempati kedudukan yang tinggi. Mereka tak boleh bertindak semaunya sendiri, karena setiap kata dan tindakannya menjadi sorotan bagi anak-anak.
            Orang tua hendaknya dapat menggembirakan anak kemudian menjelaskan dan menerangkan bahwa keduanya menyukainya. Selalu berusaha menarik perhatian anak setiap kali akan menyuruhnya. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak, sehingga anak segera untuk menaatinya.

Keenam belas, Mendatangkan kemungkaran ke dalam rumah.
            Tidak sepantasnya bagi orang tua untuk mendatangkan kemungkaran di rumahnya. Bagaimana tidak, mereka adalah cerminan bagi sebuah keluarga. Maka, jika dalam sebuah keluarga ada kemungkarannya, orang tualah yang dinilai. Menjauhkan kemungkaran dan permainan yang dapat merusak anak merupakan kewajiban orang tua.
            Rumah adalah tempat yang paling strategis untuk membina dan mendidik anak-anak, maka sudah selayaknya untuk dibuat sekondisien mungkin. Dengan suasan yang terkondisi akan mendudkung berlangsungnya pendidikan dalam rumah tangga.
Ketujuh belas, Kontradiksi.
            Kontradiksi antar suami istri akan sangat berdampak pada anak-anak dalam sebuah rumah tangga. Yang anehnya sekarang, dibanggakan oleh seorang ibu atau bapak rumah tangga justru mencari dukungan dari anak-anaknya untuk menyetujui pendapat atau tindakannya masing-masing, baik dari pihak suami maupun istri. Boleh jadi, seorang suami memilih anak lakinya sebagai pendukung pendapatnya, sebaliknya pihak istri mengambil anak perempuannya sebagai pendudkungnya. Lengkap sudahlah pertarungan yang ada dalam sebuah rumah tangga. Maka menghindari dari sikap kontradiksi merupakan tindakan yang harus diambil oleh orang tua, demi tercapainya keluarga bahagia, mawadah wa rahmah.

Kedelapan belas, Mendo’akan petaka atas anak, hal ini adalah dilarang sebagaimana sabda Rasulullah r , “Janganlah mendo’akan kecelakaan atas dirimu, anakmu, hartamu. Karena dikawatirkan do’a tersebut bertepatan dengan Allah yang pada saat dimohonkan lalu dikabulkan.”[20]
            Maka tuntutan dalam hal ini adalah agar mendo’akan kebaikan untuk anak-anak dan menjauhi dari mendo’akan kecelakaan atas mereka serta mengejarkan do’a-do’a yang disyari’atkan. Seringnya mendoakan antara sesama anggota keluarga akan lebih mengikatkan jalinan hati. Orang tua yang sering mendoakan anak-anaknya, ia akan menyadari hakekat dari tanggung jawab sebagai orang tua. Dengan itu, ia akan berusaha mendidik anak-anaknya dengan penuh perasaan. Ia akan menyadari bahwa semua manusia adalh ciptaan Allah U Yang Maha Kuasa.
            Adapun bagi seorang anak, doa kepada orang tua merupakan bukti baktinya ketika di dunia ini. Betapa tidak, semenjak ibunya mengandung dalam perutnya menjaganya dengan sangat hati-hatinya hingga lahir dan menyusuinya secara sempurna dua tahun. Menginjak anak itu dewasa, ayah berperan dalam mencarikan nafkah baginya. Dengan demikian doa merupakan salah satu bentuk ibadah yang bisa dilakukan oleh seorang anak. Seorang anak tetap saja bisa mendoakan orang tuanya meski mereka telah tiada dan akan bermanfaat bagi keduanya.

Kesembilan belas, Menumbuhkan pada diri anak rasa kecil hati, takut, gelisah dan keluh kesah.
            Seorang anak yang kurang diperhatikan keberaniannya, sering ditakuti akan tumbuh dalam dirinya rasa takut dan tidak percaya diri. Rasa takutdi sini bisa berupa takut kepada sesuatu yang nyata maupun takut kepada hal-hal yang ghaib.
            Untuk mengatasi hal tersebut, hendaknya orang tua selalu memberikan motivasi kepada anak supaya menjadi pemberani. Tidak mengapa jika orang tua mengkaitkan antara sesuatu yang ditakutinya dengan sesuatu yang disenanginya, misalnya; polisi itu tugasnya menjaga keamanan dan melarang pencurian, adanya kegelapan agar kita bisa tidur dan istirahat, serta lain-lainnya. Demikian pula dapat dilakukan dengan menjauhkan anak dari suasana yang menegangkan, seperti kematian kerabat yang di dalamnya terdapat tangisan, jeritan dan lain sebagainya.
            Untuk masalah takut berada di dalam kamarnya sendiri, maka hendaknya menerangi rumah dengan sinar yang terang jika dibutuhkan. Adapun sebelum tidur, baik juga orang tua menceritakan kisah-kisah yang bagus dan menakutkan sebelum tidur, tidak membiarkan anak dalam keadaan sendirian.
Kedua puluh, Tidak segera menikahkan anaknya yang sudah mampu.
            Menjadi kewajiban orang tua untuk memilihkan calon istri yang shalihah atau suami yang shalih bagi anaknya. Sudah maklum, fitrah seorang suami akan dapat lebih mudah dalam mepengaruhi istrinya daripada seorang istri mempengaruhi suami. Oleh karenanya syariat Islam ini telah menetapkan bolehnya seorang lelaki Muslim menikah dengan Ahlkul Kitab, sebaliknya, dilarang bagi seorang wanita Muslimah menikah dengan lelaki Ahlul Kitab. Meski demikian, ditekankan agar tetap menikah sesama umat Islam, baik kalangan lelaki maupun muslimahnya.
            Akhsam bin Shaifi berkata kepada anaknya,”Wahai anakaku jangan sampai kecantikan wanita menyebabkab kamu tidak mengecek aspek keturunannya. Karena menikah dengan keturunan yang baik (terhormat) itu akan mengantarkan pada kemuliaan.”[21]




BAB III
PENUTUP
            Demikian pembahasan mengenai kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anaknya yang dapat penulis sampaikan. Apa yang telah penulis paparkan dalam makalah ini bukanlah sebuah pembatasan bagi pendidikan yang salah, tapi hanya mewakilinya saja. Mestinya kesalahan lain yang tidak penulis sebutkan masihlah banyak, karena tak mungkin untuk disampaikan semua melihatberbagai pertimbangan, antara lain; akan memakan tulisan yang cukup banyak, terjangkaunya ilmu penulis, dan yang terakhir karena memang yang kami tinjau sebatas syari dan psikologinya saja.
            Makalah ini sudah barang tentu terdapat kesalahan dan kekurangannya, oleh karenanya penulis memohon maaf yang seikhlasnya. Bersedialah kiranya, bagi semua pembaca yang mengetahui kesalahan yang ada untuk mengislahnya, demi tercapainya kebenaran yang nyata.
            Semoga Allah U memberikan kekutan kepada kita untuk bisa mendidik putra-putri kita dengan benar.
            Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia dunia akhirat.
            Ya Allah, jadikanlah kami sebagai imamnya orang-orang yang bertakwa.
            Ya Allah, berilah kami petunjuk jalan-Mu yang lurus.
            Akhirnya berkat pertolongan Allah U semata, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam waktu yang relatif singkat. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah r , sang pendidik Muslim yang sejati. Wallahu Waliyyut Taufiq.

Referensi
-        Muhammad Hamid an-Nashir & Khaulah Abdul Qadir Darwis, Tarbiyatul Aulad fii Rihaabil Islam, Maktabah as-Suwadi Jeddah, cet. 2, tahun 1412 Hm1992 M.
-        Ibnu Qayyim al-Jauziyah dkk, Tazkiyatun Nafs, Pustaka Arafah Solo, cet. 12, tahun 2004 M.
-        Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode Pendidikan Anak Prasekolah (terjemah), Darul Haq, Jakarta, cet.  5, tahun 1424 H/2004 M.
-        Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode Pendidikan Anak  Muslim Usia 6-9 (terjemah), Darul Haq, Jakarta, cet. 1, tahun 1426 H/2005 M.
-        Dr. Fadhl Ilahi, Mendakwahi Orang Tua: Dasar, Tahapan dan Adabnya (terjemah), Darus Sunnah, Jakarta, cet. 2, tahun 2005 M.
-        Dr. Fadhl Ilahi, Mendakwahi Anak: Dasar dan Tahapannya (terjemah), Darus Sunnah, Jakarta, cet. 1, tahun 2005 M.
-        Muhammad suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi, Solo Pustaka Arafah, cet. 2, tahun 2004.
-        Muhammad bi Ibrahim al-Hamd, Kesalahan Mendidik Anak, Bagaimana Terapinya, Jakarta Gema Insani Press.
-        Muhyiddin Abdul Hamid, Kegelisahan Rasulullah r Mendengar Tangis Anak, Mitra Pustaka Yogyakarta.


[1] - QS. An-Nisa’ (4): 58.
[2] - QS. Al-Anfal (8): 27.
[3] - QS. At-Tahrim (66): 6.
[4] - HR Al Bukhari dan Muslim.
[5] - HR Al Bukhari dan Muslim.
[6] - HR. Al-Hakim.
[7] - Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, dinukil dari Mendidik Anak Bersama Nabi  r , hal. 117.
[8] - Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin: 1/94.
[9] - HR. At-Turmudzi: 7/142 dan al-Hakim: 4/324.
[10] - lihat Tazkiyatun Nafs, hal. 36.
[11] - QS. Qaaf:18.
[12] - QS. Al-Israa: 36.
[13] - HR. Al-Bukhari: 11/308 dan Muslim: 2/18.
[14] - HR. Ahmad: 4/132, at-Turmudzi: 7/51 dan al-Hakim: 4/331, hadits shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim.
[15] - Lihat Tazkiyatun Nafs, hal. 36, dengan sedikit perubahan.
[16] - QS. Al-Israa: 27.
[17] - Sekilas mengenai tahapan tersebut dapat dilihat dalam Dr. Fadhl Ilahi, Mendakwahi Anak, hal. 122-125.
[18] - HR. Ahmad: 6/70.
[19]-- Tuhfatul Maudud fii Ahkamil Maulud, hal. 92.
[20] - HR Muslim.
[21] - Adabud Dunya, Al Mawardi, hal. 129.

0 komentar:

Plaas 'n opmerking

 
Copyright 2010 Jihad Apa Adanya. Powered by Blogger
Blogger Templates created by DeluxeTemplates.net
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase