KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK
Fenomena dan Solusinya
BAB
I
PENDAHULUAN
Abstraksi
Tarbiyatul
Aulad atau kita menyebutnya Pendidikan anak, adalah sesuatu yang sangat
urgen, karena ia sebagai pondasi awal yang akan membentuk pola tingkah laku
bagi seorang anak. Pendidikan anak tak boleh diabaikan, dus ia merupakan
langkah awal yang akan menentukan masa depan mereka. Sudah seharusnya bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya
dengan didikan yang benar, dengan demikian mereka akan dihantarkan kepada
kesempurnaan dengan cara bertahap. Bagaimana tidak Rasulullah r telah memberi contoh kita berbagai
macam pendidikan, dari berbagai dimensinya. Mulai dari pendidikan keimanan dan
akhlak sampai pendidikan jasmani, semua tak luput beliau ajarkan kepada kita.
Beliau adalah sosok manusia pilihan yang layak kita jadikan teladan.
Rabbani adalah seorang
yang mengajarkan ilmu dan mendidik manusia dengan ilmu tersebut. Seorang
pendidik adalah seorang yang merawat ilmunya agar menjadi sempurna sebagaiman
seorang yang mempunyai harta merawat hartanya agar bertambah dan merawat
manusia dengan ilmu tersebut sebagaiman seorang bapak merawat anak-anaknya.
- Latar Belakang Masalah
Ada beberapa
hal yang melatarbelakangi penulisan makalah ini, diantaranya adalah pentingnya
pendidikan dalam keluarga. Karena di dalamnya merupakan awal mula bertolaknya
sebuah pendidikan, kemudian dilanjutkan di lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat. Adapun yang lebih khususnya, adalah fenomena kesalahan orang tua
dalam mendidik anak-anak mereka. banyak orang tua yang tidak menyadari akan
kedudukannya yang sangat penting dalam sebuah keluarga, hingga
kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikanpun mereka lalai.
Inilah
sekilas gambaran yang menimpa pendidik-pendidik kita yang hakiki. Mereka telah
kehilangan jati diri sebagai pendidik yang sejati, juga mengabaikan orientasi
peran serta kedua orang tua dalam sebuah keluarga.
- Masalah
Di era
globalisasi ini, seiring dengan kemajuan zaman, berbagai fenomena terjadi di
masyarakat. Tak luput urusan keluarga, setiap manusia dituntut oleh sebuah
tantangan global dalam mengurus keluarga dan berbagai urusan dunia ini.
Penitipan anak telah memasyarakat, babby sitter tersedia di banyak
tempat, didikan anak bukan melalui orang tuanya lagi yang disibukkan urusan dunianya.
Di samping itu, orang tua yang masih tetap langsung mendidik anak-anaknya
seolah sudah tak menghiraukan aturan main dalam urusan mendidik anak. Berbagai
kasus yang menimpa banyak keluarga nyata adanya, disebabkan karena mereka tak
berhasil dalam pendidikan keluarga.
- Tujuan
Melihat
betapa penting mengetahui kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik
putra-putrinya, maka sengaja saya menulisan makalah ini. Dengan harapan agar
mereka yang belum mengetahui, segera mengetahuinya dan bagi yang sudah
mengetahui agar bergegas untuk mengamalkannya. Bagi mereka yang telah tercebur
dalam dunia rumah tangga, untuk tetap istiqamah menapakinya dengan penuh
bahagia dan hati-hati. Bagi mereka yang belum terjun ke dalam jalinan sebuah
keluarga, agar tidak salah dalam mendidik putra-putrinya kelak. Bagi mereka
yang telah mendidik anak-anaknya dengan didikan yang salah, agar segera
memperbaiki cara mendidiknya.
BAB II
ANALISA
Kesalahan dalam
Mendidik Anak
Banyak nash,
baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang memberikan peringatan terhadap
kesalahan dalam mendidik anak. Kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada
anak-anak dan menunaikan amanat dengan baik kepada mereka serta memperingatkan
kita agar tidak melalaikan dan mengabaikan serta mengurangi hak-hak mereka.
Allah U
berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” [1]
Dalam ayat lain Allah U juga telah
berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”[2]
Mendidik anak adalah sebuah amanat yang Allah U berikan kepada kedua orang tua, maka hendaknya
mereka melaksanakannya dengan penuh kesungguhan. Bukankah Allah U telah mengingatkan kita agar memelihara diri
dan keluarga dari api Neraka,? Bukankah anak merupakan anggota keluarga bagi
orang tua,?
Artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”[3]
Rasulullah r bersabda,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas
kepemimpinannya, setiap imam adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawabannya, seorang suami pemimpin di dalam keluarganya dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”[4]
Beliau juga bersabda, “Tidaklah seorang hamba diberi amanat untuk
memimpin (kepemimpinan) oleh Allah Ta'ala kemudian ia mati pada waktu itu
sedang ia menyelewengkan kepemimpinannya, melainkan Allah mengharamkan bamginya
jannah.”[5]
Berikut penulis paparkan kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak
yang banyak dilakukan oleh orang tua, tak lupa saya sertakan solusinya.
Meskipun kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak tidak hanya terbatas pada yang penulis
paparkan disini, semoga dalam makalah ini cukup mewakili adanya. Dalam
pemaparan ini, penulis meninjaunya dari sisi psikologis tanpa melupakan sisi
syariatnya. Adapun diantara kesalahan-kesalahan tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
Pertama, Tidak menanamkan keimanan kepada anak sejak dini.
Keimanan adalah
urusan yang terpenting bagi eksistensi seorang manusia sebagai hamba Allah U. Menanamkan keimanan dan
aqidah yang benar pada diri anak semenjak kecil adalah tuntutan syariat Islam
bagi kedua orang tua.
Orang tua hendaknya menyadari betul
bahwa fitrah seorang anak mengakui akan keesaan Allah U , bahkan mengakui sabagai satu-satunya sesembahan yang
Haq. Dengan demikian mempertahankan kondisi tersebut adalah sebuah kelaziman
yang harus dilakukan bagi keduanya.
Sahabat Ibnu Abbas t pernah meriwayatkan bahwa
Rasulullah r
bersabda, “Ajarkan kalimat Laa Ilaaha Illallah kepada anak-anak kalian
sebagai kalimat pertama, dan tuntunlah mereka mengucapkan kalimat tersebut
ketika menjelang mati.”[6]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah pernah
berkata, “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa berbicara, hendaklah
mendiktekan kepada merekakalimat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad
Rasulullah . Hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga
mereka adalah Laa Ilaaha Illallah dan mentauhidkan-Nya. Juga diajarkan
kepada mereka bahwa Allah U bersemayam diatas Arsy, Dia
senantiasa melihat dan mendengar perkataan mereka dimanapun mereka berada.”[7]
Penanaman aqidah yang shahih
hendaknya ditekankan semenjak anak kecil, agar ia bisa tumbuh diatas aqidah
tersebut. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh imam al-Ghazali, “Ketahuilah
bahwa apa yang telah kami sebutkan dalam menjelaskan aqidah seyogyanya
diberikan kepada sang anak di awal perkembangannya. Ini dimaksudkan agar ia
bisa menghafalkannya dengan benar-benar, sehingga maknanya kelak di masa dewasa
terus terungkap sedikit demi sedikit.” Beliau juga menyatakan, “Langkah pertama
adalah pemberian hafalan, kemudian pemahaman, kemudian I’tiqad (kepercayaan),
keyakinan dan pembenaran. “[8]
Kedua, Mendidik anak berbicara dengan tanpa dipikir masak-masak terlebih
dahulu, kelancangan lidah dan merasa dirinya lebih tinggi daripada orang lain
dengan alasan agar anak menjadi pemberani.
Lisan adalah
sumber dari berbagai fitnah. Dengan lisan seseorang dapat menyampaikan
kebenaran maupun kesalahan. Ucapan lisan yang baik akan membawa seseorang
kepada Jannah, sebalinya ucapan yang jelek akan menyeret pelakunya ke dalam Neraka. Rasulullah r pernah
mengingatkan kepada Sahabat Mu’adz bin Jabal, “Peliharah olehmu benda ini
(seraya beliau memagang lidahnya),” Muadz bertanya, “Benarkah kita akan
disiksa karenapembicaraan kita,?” Beliau menjawab, “Celaka ibumu Muadz,
bukankah manusia itu akan diseret ke Neraka pada wajah-wajah mereka disebabkan
oleh buah perkataan mereka.”[9]
Maksud dari buah perkataan adalah
balasan atas perkataan yang haram dan berbagaio akibatnya. Dengan berbicara dan
beramal seseorang berarti telah menanamkan kebaikan atau keburukan, di hari
Kiamat kelak ia akan menuai semua apa yang telah diucapkan. Barangsiapa yang
menanam kebaikan, maka ia akan menuai karamah. Sebaliknya, sesiapa yang menanam
keburukan ia akan menuai penyesalan.[10]
Hendaknya orang tua bertanggung
jawab kepada semua anak-anaknya untuk benar-benar menjaga lisannya, dipikir
terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu. Sudah semestinya menyadari bahwa
apa yang diucapkan senantiasa tercatat oleh Malaikat. Allah U telah berfirman, “Tiada suatu ucapanpun
yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”[11] Demikian
pula kita meyakini bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawabannya,
Allah U pernah berfirman, “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.”[12]
Oleh karena itu,
jika kita tidak mampu untuk berkata yang baik hendaknya berusaha semaksimal
mungkin untuk menutup lisan kita, agar terjaga ucapan kita. Rasulullah r pernah mengingatkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah U dan hari Akhir,
hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”[13]
Ketiga, Mendidik anak dengan dimanja dan hidup tanpa aturan, membiasakan
anak hidup mewah, congkak, royal dan lain sebagainya.
Anak yang dididik
dengan manja, maka di kala dewasa kelak ia tidak akan menjadi orang yang mampu
untuk hidup mandiri. Membiasakan anak hidup secara boros dan royal, maka di
waktunya ia besar tak akan mampu untuk bisa hidup sederhana. Membiasakan anak
hidup tanpa aturan, akan menjadikan ia sebagai orang yang tidak mau diatur di
kala besar nanti. Makan tidak teratur, terkadang sering makan berlebihan dan
kadang pula terlambat dalam makan.
Melihat kondisi
seperti ini, hendaknya mempergauli anak tanpa memanjakannya. Orang tua yang
baik, hendaknya membiasakan anak untuk mandiri, hidup dengan hemat dan penuh
perhitungan, juga hidup sederhana.
Berlebihan dalam
makan hingga ke-kenyangan akan banyak memicu munculnya berbagai macam penyakit,
baik bersifat jasmani maupun rohani. Penyakit yang sifatnya jasmani, misalnya
anak akan merasa lemah, lesu, mual-mual dan lain sebagainya. Lalu tidak akan
dapat memanfaatkan waktunya dengan baik, ia akan malas untuk bekerja, penginnya
istirahat terus dan lain sebagainya. Adapun mengenai penyakit rohani, ia akan
banyak mengakibatkan hal yang buruk. Ia akan menggerakkan badan untuk melakukan
berbagai macam kemaksiatan serta menjadikannya malas dan berat untuk berbuat
ketaatan kepada Allah U maupun malas dalam melakukan ibadah. Berapa banyak kemaksiatan
yang bermula dari keadaan kenyang dan berlebihan dalam makan.
Mengenai urusan
perut, jauh hari Rasulullah r telah
mengingatkan kita untuk mengaturnya. Dalam sebuah haditsnya, beliau
menasehatkan, “Tiada bejana yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk
daripada perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan
tulang punggungnya. Jika tidak bisa, maka sepertiga dari perutnya hendaknya
diisi untuk makannya, apertiga untuk minumnya dan sepertiga untuk nafasnya.”[14]
Makan dengan
teratur dapat melembutkan hati, meguatkan daya pikir, membuka diri, serta
melemahkan hawa nafsu dan sifat suka marah. Barangsiapa bisa menjaga keburukan
perutnya berarti ia telah manjaga diri dari keburukan yang besar.[15] Kemudian hendaknya membiasakan mereka untuk hidup
sederhana dengan bersungguh-sungguh, serius dan menjauhkan dari sifat malas,
menganggur dan santai-santai.
Keempat, Membuka tangan atau membiarkan anak dari segala apa yang
diinginkan, tanpa menolak sedikitpun.
Membelikan
kendaraan kepada anak adalah contoh riel yang acap kali terjadi di masyarakat
kita, padahal mereka masih kecil dan tidak tahu akan kegunaannya. Dengan benda
tersebut seorang anak hanyak merasakan kenikmatannya saja, tidak mengetahui
bagaimana perawatan dan lain sebagainya.
Sikap yang
ditempuh oleh orang tua seperti hal diatas akan membuka pntu syetan dan
menimbulkan banyak kemubadziran. Dus, mubadzir adalah perkara yang dilarang
oleh Allah U
dan sangat disukai syetan. Allah U berfirman, “dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (*) Sesungguhnya pemboros-pemboros
itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Rabbnya.”[16]
Maka oranmg tua
yang baik, ia akan memberi uang jajan kepada anak sesuai dengan apa yang
diburuhkannya dan memberinya uang tetap (pada usia tertentu). Anak kecil yang
belum tahu kebutuhan macam-macam dan bahkan ia tidak membutuhkan berbagai macam
kebutuhan tersebut, maka hendaknya diberikan sesuatu yang dibutuhkan saja.
Kelima, Terlalu bersikap keras dan kasar dari yang sewajarnya.
Teralalu bersikap
keras dalam mendidik anak, akan menjadikan ia sebagai anak yang berwatak
penakut dan kecil hati. Anak akan selalu rendah diri, tidak berani bergaul
dengan orang lain dan akan sering mengurung diri demi tidak terlihatnya oleh
orang laing. Dus, kalau si anak tidak gentar, maka ia akan menjadi pemuda yang
kurang ajar dan tidak ada yang ia segani maupun ditakutinya. Hati seorang anak
akan menjadi keras, hingga pada akhirnya tak seorangpun yang mau ditaatinya.
Oleh karena itu,
hendaknya orang tua mendidik anaknya sewajarnya saja, tidak terlalu keras
maupun lembut. Orang tua hendaknya memperhatikan tahapan-tahapan dalam mendidik
anak-anak-nya. Manakala dibutuhkan kekarasan ketika mengingatkan, hendaknya
dilakukan kekerasan. Namun ketika tidak dibutuhkan kekerasan, maka jangan
sampai mendidiknya dengan kekerasa.
Diantara tahapan
tersebut adalah pertama, memberikan penjelasan. Anak dikenalkan kepada
keyakinan dan amalan yang harus dikerjakan seorang muslim, juga apa yang harus
ia tinggalkan dan ia jauhi. Kedua, melakukan larangan dengan tegas.
Metode ini dilakukan saat diperlukan saja, ini berdasarkan sikap Rasulullah r kepada al-Hasan yang makan kurma dari sedekah. Ketiga, merubah
dengan tangan. Keempat, melakukan pukulan. Kelima, pengucilan.[17]
Menghindari
hukuman fisik atau ancaman sebagai sarana untuk meluruskan kesalahan tetap saja
sebagai tindakan yang lebih baik. Orang tua hendaknya juga tidak melupakan
untuk memperhatikan setiap pelaksanaan perintah. Dengan mengetahui tahapan
dalam mendidik anak seperti diatas, diharapkan orang tua benar-benar dapat
mengamalkannya dengan sebaik mungkin.
Keenam, Terlalu bersikap kikir kepada anak.
Hendaknya orang
tua bersikap pertengahan kepada anak-anaknya, tidak terlalu membuka tangan
kepadanya dan juga tidak terlalu kikir kepadanya. Mengetahui berapa besar
kebutuhan anak, hendaknya diketahui orang tua. Memberikan apa yang memang
dibutuhkan dan mencegah dari apa-apa
yang tidak dibutuhkan oleh si anak. Sifat kikir bukanlah hal yang baik, karena
akan memunculkan banyak permasalahan. Dilihat dari sisi dien, ia memang
dilarang, karena Islam menganjurkan agar umatnya menjadi orang yang dermawan.
Adapun kalau kita lihat dari sisi psikologi, sifat kikirnya orang tua akan
berdampak pada anak. Boleh jadi, seorang anak kelak akan menjadi orang yang
kikir disebabkan karena kekikiran orang tua.
Ketujuh, Tidak memberikan kasih sayang dan perhatian kepadanya.
Kasih sayang dari
orang tua sangat dibutuhkan oleh seorang anak. Maka tatkala orang tua tidak
memberikan kasih sayangnya kepada anak mereka, pendidikan anak akan terasa
hampa. Bukti kasih sayang yang sangat membekas pada diri anak adalah ciuman
atau kecupan pada anak. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah r adalah contoh yang nyata. Bagaimana beliau memberikan kasih
sayangnya kepada anak-anak kecil. Sebagaimana yang telah dikisahkan oleh
A’isyah, “Telah datang beberapa orang Badui menghadap Rasulullah r dan bertanya, “Apakah engkau mencium anak-anakmu,?” Maka beliau
menjawab, “Ya.” Mereka kemudian berkata,
“Demi Allah U, kami tidak
mencium anak-anak kami.” Rasulullah r lalu bersabda,
“Aku tidak punya daya apa-apa bila Allah U telah mencabut rasa kasih sayang dari dalam hatimu.”[18]
Kedelapan, Hanya memperhatikan aspek penampilan fisik saja.
Orang tua yang
kurang memperhatikan dien-nya, ia cenderung akan menilai anaknya dengan satu
sudut pandang saja. Aspek fisik sajalah yang hanya akan diperhatikannya, dengan
melalaikan aspek ruhnya. Banyak dari kalangan orang tua yang merasa bangga
apabila anaknya berpenampilan sehat selalu dan berbadan kuat. Mereka tidak
menghiraukan urusan ruhnya. Berapa banyak orang tua yang terlena dengan apa
yang muncul dari seorang anak.
Kesembilan, Terlalu berlebihan dalam berparasangka baik kepadanya.
Berprasangka baik
kepada anak adalah hal yang dituntut bagi orang tua. Akan tetapi kalau sudah
pada taraf berlebihan, maka ia menjadi hal yang tercela. Maka prasangka baik
kepada anak yang berlebihan merupakan kesalahan yang dilakukan orang tua.
Hendaknya orang tua senantiasa mengetahui dimana keberadaan anak-anaknya,
kemana ia pergi, kepada siapa ia izin, kepada bapak atau ibu. Jam berapa
seharusnya seorang anak sudah harus berangkat sekolah dan kapan seharusnya ia
pulang dari sekolah.
Orang tua
hendaknya bisa mengatur kegiatan apa saja yang layak untuk dilakukan
anak-anaknya. Kapan seorang anak harus mengaji, belajar di rumah dan bermain
bersama teman-temannya. Siapa teman-teman dekatnya dan orang yang paling banyak
berpengaruh kepadanya, sehingga perkembangan psikologinya dapat dideteksi.
Bisa jadi
kepercayaan orang tuia kepada anaknya, seperti hal diatas justru akan
dimanfaatkan oleh si anak untuk hal-hala yang tidak baik. Ia akan banyak-banyak
mencuri waktu luang guna bermain terus, atau untuk hal-hal lainnya. Bahkan
tidak menutup kemungkinan, waktu-waktu yang sudah padatpun akan ia terjangnya.
Sedikit orang tua lengah dalam memantaunya, ia akan bersegera berbalik arah
untuk menjauh dari orang tua. Oleh karena itu, manakala seorang anak meminta
izin untuk bermain harus diketahuilah dimana dan permainan apa yang akan ia
lakukan.
Kesepuluh, Terlalu buruk sangka kepada anak.
Kebalikan dari
point sebelumnya, orang tua juga tidak selayaknya untuk terlalu berburuk sangka
kepad anak. Berburuk sangka kepada anak tidak selamanya mengandung makna yang
buruk, karena terkadang ia dibutuhkan. Manakala seorang anak sering
meninnggalkan rumah, hendaknya orang tua sedikit berburuk sangka. Sehingga
dengan demikian, orang tua akan selalu mengetahui kondisi dan keberadaan si
anak.
Terlalu berburuk
sangka kepada anak juga merupakan hal yang berbahaya, tidak baik. Terlalu
berburuk sangka kepada anak merupakan bagian dari kesalahan dalam mendidik
anak. Ia akan menjadikan anak yanng penakut, karena merasa selalu dipantau dan
diawasi. Ia akan menjadikan anak yang serba tertutup di hadapan orang tuanya,
banyak menjauh dari keduanya.
Kesebelas, Tidak berlaku adil kepada anak-anak.
Perlakuan tidak
adil dari orang tua kepada anak-anaknya akan mengakibatkan banyak hal,
diantaranya anak akan malas bekerja, malas belajar, membenci orang tua, silit
diatur dan acuh atau cuek kepada orang tua. Adil bukan berarti harus sama,
bahkan terkadang menyamakan besarnya uang yang diberikan kepada anak, justru
masuk dalam kategori tidak adil. Akan tetapi yang terbaik bagi orang tua, agar
bisa mendudukkan sesuai dengan kebutuhannya. Seorang anak yang masih kecil,
tidak layak untuk dikasih uang banyak. Demikian sebaliknya, seorang anak yang
sudah dewasa akan kurag jika hanya disedikit dan itu memang tidak memenuhi
kebutuhannya.
Kedua belas, Kesalahan dalam memberi nama.
Nama adalah sebuah do’a dari kedua
orang tua kepada anaknya. Memberi nama anak dengan nama-nama yang baik
merupakan kewajiban bagi orang tua. Dengan memberi nama anak, orang tua
mencurah harapan di masa depannya. Maka bila nama anak tersebut baik, niscaya
kebaikan pula yang diharapkan orang tua darinya.
Namun betapa banyak umat yang tidak
mengetahui hakekat dari nama seorang anak, hingga sembarang memberi nama bagi
anak mereka. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh imam seorang ulama
pendidik sejati, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ”Jarang anda melihat nama yang jelek,
melainkan nama itu adalah sesuai dengan yang dinaminya.”[19]
Fenomena di tengah kaum muslimin
banyak kita dapati nama-nama anak yang tidak Islami, mengekor kepada
orang-orang Barat. Bapak Nardi (bukan nama sebenarnya, penggamar pemain bola),
dengan senang hati memberi nama anaknya David, harapannya agar besar kelak
menjadi pemain bola handal layaknya David Bekham. Lain lagi bapak (Jaky,
penggemar musik Barat), dengan bahagia memberi nama anaknya dengan Michael,
mengimpikan dewasa kelak anaknya menjadi Rocker dunia seperti Michael Jacksan.
Ibu Dian memberi nama anaknya dengan Kristina, padahal ia adalah seorang
Muslimah. Demikian seterusnya yang tak mungkin saya sebutkan satu-satu di
makalah ini.
Selain itu, juga banyak nama-nama
yang tidak layak bagi orang tua memberikannya kepada anak-anak mereka, seperti; Fir’aun, Hamman, Qarun atupun Karl Max, merekapentolan
pembangkang lagi menyombongkan diri. Begitu pula nama-nama yang jelek, baik
dilarang menurut Islam ataupun menurut adab kesopanan dan perasaan, seperti; Harb
yang artinya perang, Himar (keledai), Kalb (anjing), Murrah
(pahit) dan lain-lainnya. Tak luput juga nama-nama yang menyebabkan bahan
tertawaaan dan ejekan orang, seperti; Syuhat yang artinya timbil, Ful-ful
(cabe), Khaisyah (karung), Bighal (keledai kecil) dan lain-lain.
Berkaitan dengan nama pula,
hendaknya membiasakan memanggil anak dengan panggilan yang baik semenjak kecil.
Banyak sekarang, anak-anak sudah bagus namanya, tapi justeru orang tua memulai
memangginya dengan panggilan yang tidak baik. Tidak luput pula, apabila ada
orang yang memanggilnya dengan panggilan yang jelek, hendaknya orang tualah
yang memuali menegurnya agar tidak berkepanjangan penggilan tersebut melekat
pada anak.
Ketiga belas, Mengabaikan rumah dan menyibukkan diri dengan
urusan di luar rumah.
Orang tua yang
kurang memperhatikan akan rumahnya, otomatis dengan anak-anaknya akan
melalaikannya. Apabila dengan dirinya saja tidak menghiraukan, bagaimana dengan
keluarga,? Oleh karenanya banyak dari mereka yang tidak berhaasil membina
keluarganya, mendidik anak-anaknya.
Maka sebagai
solusinya dalam masalah ini, hendaknya orang tua banyak menetap di rumah. Kalau
memang tidak ada kebutuhan-kebutuhan yang syar’i, yang menuntutnya untuk
meninggalkan rumah, maka hendaknya jangan meninggalkann rumah. Tatkala meninggalkan rumahpun diusahakan
benar-benar diperhatikan, sesuai dengan kebutuhan. Maka manakala kebutuhan ia
segeraa kembali ke rumahnya, untuk cepat-cepat memperhatikan keadaan
keluarganya dan segera meneruskan didikannya kepada mereka.
Hendaknya
pemimpin keluarga memusatkan rumahnya sebagai madrasah untuk pendidikan bagi
anak-anaknya, mengusahakan agar seluruh anggota keluarga dibuat kerasan menetap
di rumah. Sudah selayaknya baginya untuk mengkondisikan rumahnya dalam keadaan
tenang, tidak ada keributan dan keramaian. Kalaupun toh ada, diminimalisir
mungkin. Tidak menjadikan rumah sebagai tempat senda gurau, namun hendaknya ia
jadikan sebagai tempat yang mampu untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia, mawaddah wa
rahmah.
Keempat belas, Mendidik anak dengan perbuatan yang rendah,
kata-kata yan jelek dan akhlak yang tidak terpuji.
Berusaha untuk bisa menjadi
teladan dalam mendidik adalah sebuah azam yang harus tertanam di benak
orang-orang tua, yang notabenenya mereka sebagai para pendidik anak-anak. Orang
tua sebagai tolak ukur bagi akhlak, tingkah laku, adab, unggah-ungguh bagi
anak-anaknya. Maka acap kali, ketika seorang anak berbuat kejahatan atau
kesalahan, orang tualah yang langsung terkena imbasnya. Masyarakat menanyakan,
“siapa bapaknya,” jika dijawab, “si Fulan,” mereke kembali berkomentar, “wah,
pantas.” Kata-kata ini sering muncul di kalangan masyarakan kita.
Melihat betapa dasyatnya dampak yang
ditimbulkan dari kesalahan pendidikan ini, maka hendaknya orang tua mengajari
mereka perkara-perkara yang dipandang baik dan meletih mereka untuk
mengamalkannya. Berusaha keras menggunakan kata-kata yang baik dan bisa
diterima oleh anak serta manjauhkan dari dari kata-kata yang kurang baik dan
jelek.
Kelima belas, Melakukan berbagai larangan di depan anak.
Orang tua adalah
cermin hidup bagi kaum muslim dalam sebuah rumah tangga. Oleh karenanya, apa
yang ditampakkan dan dipersembahkan kepada anak adalah kebaikan. Orang tua
adalah teladan dalam sebuah rumah tangga, menempati kedudukan yang tinggi.
Mereka tak boleh bertindak semaunya sendiri, karena setiap kata dan tindakannya
menjadi sorotan bagi anak-anak.
Orang tua
hendaknya dapat menggembirakan anak kemudian menjelaskan dan menerangkan bahwa
keduanya menyukainya. Selalu berusaha menarik perhatian anak setiap kali akan
menyuruhnya. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak, sehingga anak
segera untuk menaatinya.
Keenam belas, Mendatangkan kemungkaran ke dalam rumah.
Tidak sepantasnya
bagi orang tua untuk mendatangkan kemungkaran di rumahnya. Bagaimana tidak,
mereka adalah cerminan bagi sebuah keluarga. Maka, jika dalam sebuah keluarga
ada kemungkarannya, orang tualah yang dinilai. Menjauhkan kemungkaran dan permainan yang dapat merusak
anak merupakan kewajiban orang tua.
Rumah adalah tempat yang paling
strategis untuk membina dan mendidik anak-anak, maka sudah selayaknya untuk
dibuat sekondisien mungkin. Dengan suasan yang terkondisi akan mendudkung
berlangsungnya pendidikan dalam rumah tangga.
Ketujuh belas, Kontradiksi.
Kontradiksi antar
suami istri akan sangat berdampak pada anak-anak dalam sebuah rumah tangga.
Yang anehnya sekarang, dibanggakan oleh seorang ibu atau bapak rumah tangga
justru mencari dukungan dari anak-anaknya untuk menyetujui pendapat atau
tindakannya masing-masing, baik dari pihak suami maupun istri. Boleh jadi,
seorang suami memilih anak lakinya sebagai pendukung pendapatnya, sebaliknya
pihak istri mengambil anak perempuannya sebagai pendudkungnya. Lengkap sudahlah
pertarungan yang ada dalam sebuah rumah tangga. Maka menghindari dari sikap kontradiksi merupakan
tindakan yang harus diambil oleh orang tua, demi tercapainya keluarga bahagia, mawadah
wa rahmah.
Kedelapan belas, Mendo’akan petaka atas anak, hal ini adalah
dilarang sebagaimana sabda Rasulullah r , “Janganlah
mendo’akan kecelakaan atas dirimu, anakmu, hartamu. Karena dikawatirkan do’a
tersebut bertepatan dengan Allah yang pada saat dimohonkan lalu dikabulkan.”[20]
Maka tuntutan dalam hal ini adalah
agar mendo’akan kebaikan untuk anak-anak dan menjauhi dari mendo’akan
kecelakaan atas mereka serta mengejarkan do’a-do’a yang disyari’atkan.
Seringnya mendoakan antara sesama anggota keluarga akan lebih mengikatkan
jalinan hati. Orang tua yang sering mendoakan anak-anaknya, ia akan menyadari
hakekat dari tanggung jawab sebagai orang tua. Dengan itu, ia akan berusaha
mendidik anak-anaknya dengan penuh perasaan. Ia akan menyadari bahwa semua
manusia adalh ciptaan Allah U Yang Maha Kuasa.
Adapun bagi seorang anak, doa kepada
orang tua merupakan bukti baktinya ketika di dunia ini. Betapa tidak, semenjak
ibunya mengandung dalam perutnya menjaganya dengan sangat hati-hatinya hingga
lahir dan menyusuinya secara sempurna dua tahun. Menginjak anak itu dewasa,
ayah berperan dalam mencarikan nafkah baginya. Dengan demikian doa merupakan
salah satu bentuk ibadah yang bisa dilakukan oleh seorang anak. Seorang anak
tetap saja bisa mendoakan orang tuanya meski mereka telah tiada dan akan
bermanfaat bagi keduanya.
Kesembilan belas, Menumbuhkan pada diri anak rasa kecil hati,
takut, gelisah dan keluh kesah.
Seorang anak yang
kurang diperhatikan keberaniannya, sering ditakuti akan tumbuh dalam dirinya
rasa takut dan tidak percaya diri. Rasa takutdi sini bisa berupa takut kepada
sesuatu yang nyata maupun takut kepada hal-hal yang ghaib.
Untuk mengatasi
hal tersebut, hendaknya orang tua selalu memberikan motivasi kepada anak supaya
menjadi pemberani. Tidak mengapa jika orang tua mengkaitkan antara sesuatu yang
ditakutinya dengan sesuatu yang disenanginya, misalnya; polisi itu tugasnya
menjaga keamanan dan melarang pencurian, adanya kegelapan agar kita bisa tidur
dan istirahat, serta lain-lainnya. Demikian pula dapat dilakukan dengan menjauhkan
anak dari suasana yang menegangkan, seperti kematian kerabat yang di dalamnya
terdapat tangisan, jeritan dan lain sebagainya.
Untuk masalah
takut berada di dalam kamarnya sendiri, maka hendaknya menerangi rumah dengan
sinar yang terang jika dibutuhkan. Adapun sebelum tidur, baik juga orang tua
menceritakan kisah-kisah yang bagus dan menakutkan sebelum tidur, tidak
membiarkan anak dalam keadaan sendirian.
Kedua puluh, Tidak segera menikahkan anaknya yang sudah
mampu.
Menjadi kewajiban orang tua untuk
memilihkan calon istri yang shalihah atau suami yang shalih bagi anaknya. Sudah
maklum, fitrah seorang suami akan dapat lebih mudah dalam mepengaruhi istrinya
daripada seorang istri mempengaruhi suami. Oleh karenanya syariat Islam ini
telah menetapkan bolehnya seorang lelaki Muslim menikah dengan Ahlkul Kitab,
sebaliknya, dilarang bagi seorang wanita Muslimah menikah dengan lelaki Ahlul
Kitab. Meski demikian, ditekankan agar tetap menikah sesama umat Islam, baik
kalangan lelaki maupun muslimahnya.
Akhsam bin Shaifi berkata kepada
anaknya,”Wahai anakaku jangan sampai kecantikan wanita menyebabkab kamu tidak
mengecek aspek keturunannya. Karena menikah dengan keturunan yang baik
(terhormat) itu akan mengantarkan pada kemuliaan.”[21]
BAB
III
PENUTUP
Demikian
pembahasan mengenai kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anaknya
yang dapat penulis sampaikan. Apa yang telah penulis paparkan dalam makalah ini
bukanlah sebuah pembatasan bagi pendidikan yang salah, tapi hanya mewakilinya
saja. Mestinya kesalahan lain yang tidak penulis sebutkan masihlah banyak,
karena tak mungkin untuk disampaikan semua melihatberbagai pertimbangan, antara
lain; akan memakan tulisan yang cukup banyak, terjangkaunya ilmu penulis, dan
yang terakhir karena memang yang kami tinjau sebatas syari dan psikologinya
saja.
Makalah ini
sudah barang tentu terdapat kesalahan dan kekurangannya, oleh karenanya penulis
memohon maaf yang seikhlasnya. Bersedialah kiranya, bagi semua pembaca yang
mengetahui kesalahan yang ada untuk mengislahnya, demi tercapainya kebenaran
yang nyata.
Semoga
Allah U
memberikan kekutan kepada kita untuk bisa mendidik putra-putri kita dengan
benar.
Ya Allah,
karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk membangun rumah tangga yang bahagia
dunia akhirat.
Ya Allah,
jadikanlah kami sebagai imamnya orang-orang yang bertakwa.
Ya Allah,
berilah kami petunjuk jalan-Mu yang lurus.
Akhirnya
berkat pertolongan Allah U semata, penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dalam waktu yang relatif singkat. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah r
, sang pendidik Muslim yang sejati. Wallahu Waliyyut Taufiq.
Referensi
-
Muhammad Hamid an-Nashir &
Khaulah Abdul Qadir Darwis, Tarbiyatul Aulad fii Rihaabil Islam,
Maktabah as-Suwadi Jeddah, cet. 2, tahun 1412 Hm1992 M.
-
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dkk, Tazkiyatun
Nafs, Pustaka Arafah Solo, cet. 12, tahun 2004 M.
-
Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode
Pendidikan Anak Prasekolah (terjemah), Darul Haq,
Jakarta, cet. 5, tahun 1424 H/2004 M.
-
Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode
Pendidikan Anak Muslim Usia 6-9 (terjemah), Darul Haq, Jakarta, cet. 1, tahun 1426 H/2005 M.
-
Dr. Fadhl Ilahi, Mendakwahi
Orang Tua: Dasar, Tahapan dan Adabnya (terjemah), Darus Sunnah, Jakarta,
cet. 2, tahun 2005 M.
-
Dr. Fadhl Ilahi, Mendakwahi
Anak: Dasar dan Tahapannya (terjemah), Darus Sunnah, Jakarta, cet. 1, tahun
2005 M.
-
Muhammad suwaid, Mendidik Anak
Bersama Nabi, Solo Pustaka Arafah, cet. 2, tahun 2004.
-
Muhammad bi Ibrahim al-Hamd, Kesalahan
Mendidik Anak, Bagaimana Terapinya, Jakarta Gema Insani Press.
-
Muhyiddin Abdul Hamid, Kegelisahan
Rasulullah r Mendengar
Tangis Anak, Mitra Pustaka Yogyakarta.
[1] - QS. An-Nisa’
(4): 58.
[2] - QS. Al-Anfal (8): 27.
[3] - QS. At-Tahrim
(66): 6.
[4] - HR Al Bukhari dan
Muslim.
[5] - HR Al Bukhari dan
Muslim.
[6] - HR.
Al-Hakim.
[7] - Tuhfatul
Maudud bi Ahkamil Maulud, dinukil dari Mendidik Anak Bersama Nabi r
, hal. 117.
[8] - Imam
al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin: 1/94.
[9] -
HR. At-Turmudzi: 7/142 dan al-Hakim: 4/324.
[10] -
lihat Tazkiyatun Nafs, hal. 36.
[13] -
HR. Al-Bukhari: 11/308 dan Muslim: 2/18.
[14] -
HR. Ahmad: 4/132, at-Turmudzi: 7/51 dan al-Hakim: 4/331, hadits shahih atas
syarat al-Bukhari dan Muslim.
[15] - Lihat
Tazkiyatun Nafs, hal. 36, dengan sedikit perubahan.
[16] - QS. Al-Israa: 27.
[17] - Sekilas
mengenai tahapan tersebut dapat dilihat dalam Dr. Fadhl Ilahi, Mendakwahi
Anak, hal. 122-125.
[18] - HR.
Ahmad: 6/70.
[19]--
Tuhfatul Maudud fii Ahkamil Maulud, hal. 92.
[20] -
HR Muslim.
[21] -
Adabud Dunya, Al Mawardi, hal. 129.
0 komentar:
Plaas 'n opmerking